Para guru: menanti giliran menerima Sakramen Tobat |
"Aduh, ini rasanya sudah seperti mau ujian praktek!" ujar Bu Erna, guru Bahasa Indonesia SMP Santa Ursula Jakarta.
"Iya, aku juga sudah lama tidak melakukan ini. Gimana dong... kan malu sama Romonya," timpal Bu Vina, guru Bahasa Inggris, sambil membalik-balikan buku Puji Syukur. Ia sedang mencari bagian doa tobat yang akan didaraskan setelah penerimaan Sakramen Tobat.
Sementara Bu Endah, Guru BK, tersenyum-senyum manis sambil memegang erat secarik kertas yang berisi "litani" hal-hal yang perlu ia akukan. "Saya malu juga sebetulnya, soalnya dosa saya banyak banget sampe kertas saya panjang begini," kisahnya.
Pergulatan batin dalam malu dan mau begitu terasa hidup. Pergulatan yang tidak hanya dirasakan oleh kaum awam tetapi juga para relijius yang sungguh menghargai Sakramen Tobat sebagai anugerah dari Allah; Sebuah Sakramen yang membuat kita mengalami kegembiraan karena dapat kembali pada Dia sekaligus perjuangan untuk meninggalkan kesombongan dosa, ke-egois-an diri.
usai penerimaan Sakramen Tobat, berdoa di depan salib sebagai ucapan syukur |
para siswi minta maaf langsung pada guru: praktek tobat. |
Bu Dian: "bertanduk" -- before |
Hal ini menghantar kita pada sebuah renungan dari S.Tomas Kempis:
Tak terasa, waktu bergulir tersisa hingga seminggu lagi menjelang Pekan Suci.
Sudahkah kalian melakukan pengakuan dosa dan menerima Sakramen Tobat?
Saudaraku,
Tanpa Sakramen Ekaristi, kita sulit mengenal apa yang disebut Gereja Katolik.
Bu Dian: Happy face -- after |
dan ini sama sulitnya dengan memisahkan umat Katolik yang baik dengan Sakramen Tobat.
"Selamat malam, saudaraku. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
"Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari." (Mat 6:34)
[+In Cruce Salus, Pada Salib Ada Keselamatan. Thomas A Kempis, 'de Imitatione Christi' II, 2, 2]
0 komentar:
Posting Komentar